Pagi ini dingin sekali. Sweater merah jambu favouritku ternyata tak
mampu melawan dinginnya pagi di kota ku. Aku menyesap secangkir teh
hangat dengan gula rendah kalori. Cukuplah untuk membuat badanku hangat
sejenak. Dengan rasa malas, kuseret kakiku menuju dapur. Segera
kuhangatkan susu cair dan kusiapkan empat tangkup roti isi selai kacang.
Tak lupa kuiris tiga buah apel berwarna merah menyala.
“Selamat pagi,” dia mengecup pipiku. Rambutnya yang hitam terlihat
acak-acakan. Piyamanya meninggalkan kerutan disana-sini. Hujan tadi
malam membuat dia dan bahkan juga aku tertidur dengan nyenyaknya.
Setelah menenggak habis susu kalsium rendah lemaknya, dia bergegas ke
kamar mandi. Suara gemericik air terdengar begitu jelas di pagi yang
sunyi ini. Aku menghela nafas, ada sesuatu yang aneh dalam dadaku.
Sesuatu yang ingin menyeruak dari hatiku. Seperti sebuah pemberontakan.
Dia memakai hem warna biru laut yang baru kubelikan minggu lalu
sebagai hadiah ulang tahunnya yang kedua puluh lima. Kulihat dia memakai
gel rambut, menyisir rambutnya, dan memakai dasi. Semuanya ia lakukan
sendiri. Aku mencoba mendekat.
“Sarapan sudah siap,” kataku.
“Terima kasih,” dia mentatapku, tersenyum. Lantas kembali sibuk dengan dasinya.
Kenapa diam saja? Kau seharusnya membantunya memakai dasi itu. Kau takut? Apa yang kamu takuti? Ah, pokoknya aku takut.
Sepuluh menit kemudian kulihat dia menuju dapur. Aku masih sibuk
dengan make-up dan blazer merah maroon-ku. Lipstick merah menyala
kupoleskan di bibir mungilku. Tak lupa blush on warna senada kulitku
menempel pas di kedua pipiku. Sekarang, waktunya memakai mascara.
“Saya makan duluan,” dia memberitahuku. Aku mengangguk kecil,
sekarang sibuk dengan antingku. Dia, lagi-lagi makan di balkon rumah.
Bukannya sudah kusiapkan sarapan diatas meja makan? Yang kuinginkan kita
sarapan bersama. Duduk berdua dan saling bertukar cerita. Ah, dia
memang tak pernah mau mengerti.
“Apa aku kurang cantik Nes?”
Nesta tertawa. Wajah orientalnya memandangku tak percaya.
“Hei, kamu kenapa sih? Lagi kena syndrome penuaan dini ya?” ledeknya.
“Entahlah. Kadang aku tak mengerti dengan sikap Hari. Akhir-akhir ini dia berubah,”
Nesta mendekatkan kursinya kearahku. Kertas-kertas berisi catatan pengeluaran perusahaan ia tinggalkan sejenak.
“Yah, aku pikir Hari tidak mencintaiku lagi,”
“Hei! Jangan bilang begitu, memang apa yang dilakukan Hari kepadamu? Dia selingkuh?”
Aku menggeleng.
“Tapi sikap kami berdua tak bisa dibilang lagi sebagai sepasang suami istri,”
“Kalian kan masih pengantin baru, mungkin masih harus beradaptasi dengan kehidupan rumah tangga,” Nesta menggenggam tanganku.
“Aku yakin kamu pasti bisa menjadi istri yang baik,”
Aku meng-amini ucapan Nesta dalam hati.
***
“Halo, saya pulang terlambat. Malam ini kamu pulang naik taksi saja ya…maafkan saya, nanti saya pesankan taksi,”
Aku mendesah pelan. Lagi-lagi seperti ini. Dia, kenapa sih dia selalu saja begini?
“Rin, aku pulang dulu ya, Rama udah jemput,” Nesta melambaikan
tangannya kepadaku. Aku mengangguk pelan. Kami berpisah di lobi kantor.
Nesta, sahabatku terlihat bahagia bersama suaminya. Rama adalah pria
dengan sejuta perhatian, itu sebutan Nesta untuk suami tercintanya.
Nesta, seandainya Hari sama seperti Rama….
Aku terjaga saat mentari pagi mengintip malu-malu lewat celah jendela
kamar kami. Kulihat dia sudah berpakaian rapi. Sedang memakai dasi di
depan cermin.
“Selamat pagi Rin, hari ini saya ada rapat lebih awal, saya berangkat duluan ya?”
“Tapi saya belum bikinin kamu sarapan,”
“Tenang saja, nanti saya bisa mampir ke Wendy’s”
Dia tersenyum lantas mengecup keningku. Bergegas ia menuju ke ke
garasi. Memanaskan mobil dan pergi. Aku menangis. Pagi ini seperti
pagi-pagi sebelumnya. Dimana pernikahan yang katanya indah itu? Bukan
begini pernikahan yang aku harapkan. Seharusnya pagiku diwarnai dengan
celoteh riang kami. Saling memeluk mesra ketika kami terjaga. Saling
bercanda sembari menyesap hangatnya kopi di balkon rumah kami yang
cantik. Atau saling melengkapi cerita kami ketika sarapan. Setidaknya
ada kecupan manis saat aku melangkah menuju kantorku. Ah, dimana semua
keindahan itu?
“aku benar-benar lelah Nes! Aku capek dengan semua ini,”
Nesta memandangku prihatin.
“Maafkan aku, aku tak tahu harus bagaimana,” Nesta memelukku.
“Rama pasti tak seperti Hari, dia pasti selalu hangat, iya kan?”
Nesta mengangguk.
“Nesta, apa sih kekuranganku? Apa aku kurang seksi? Perasaan aku lebih seksi dan lebih cantik dari kamu, iya kan?
Kudengar Nesta tergelak.
“Aku tak akan pernah bisa mengalahkan mantan Miss Kecantikan
kebanggan almamaterku, sampai kapan pun aku tak bisa mengalahkanmu!”
“Yah, tapi dalam berumah tangga kamu berhasil mengalahkan aku, kamu berhasil mendapatkan suami yang sempurna,”
“Aku yakin Hari menyayangimu. Mungkin hanya waktu kalian saja yang selalu salah,”
Aku terdiam. Ucapan Nesta membuatku berfikir, mungkin kali ini Nesta benar.
***
Jumat malam. Itu yang sangat aku tunggu. Weekend! Yeah akhirnya
kembali libur setelah satu minggu yang melelahkan. Nesta menggodaku saat
aku mengeluarkan lipstick merah menyalaku.
“Ciee yang mau kencan..”
“Bagaimana? Aku cantik tidak?” aku kembali mematut diriku di depan cermin toilet kantor.
Nesta menunjukan dua jemponya.
“Hilarry Swank aja kalah,”
Aku tertawa mendengar Nesta membandingkanku dengan artis Hollywood favoritnya. Kulirik BB-ku yang sedari tadi berkedip.
“Baiklah, saya akan segera turun,”
“Sukses ya Rin..aku tunggu cerita indahmu,” Nesta melambaikan tangan
kepadaku. Waduh, kok jadi seperti mau kencan pertama saja. Tiba-tiba aku
merasa menjadi remaja belasan tahun lagi.
Dia berdiri di depan mobil silver metallic-nya. Rambut cepak itu,
tubuh jangkung itu, dan oh Tuhan dia memakai hem biru laut favoritku.
“Maaf sudah membuatmu menunggu,”
Dia menoleh. Wajah tampan itu tersenyum. Lantas membimbingku ke
mobilnya. Lagu Fly Me to the Moon-nya Frank Sinatra mengalun lembut dari
radio yang kebetulan sedang membicarakan tentang Valentine. Oh iya!
Bukannya hari ini valentine yah? 14 februari. Bulan merah jambu yang
dulu sangat akrab di kehidupanku. Bulan yang katanya penuh dengan kasih
sayang. Tiba-tiba dadaku bergemuruh.
“Kamu lapar?” dia bertanya. Tak sekalipun menoleh kepadaku. Aku tahu
dia sedang konsentrasi menyetir, jadi tak kupermasalahkan itu.
“Lumayan,” jawabku. Jujur, gara-gara terlalu antusias dengan ajakan
‘pergi berdua’-nya membuatku lupa makan. Sibuk memikirkan penampilanku
dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Setengah jam kemudian kami sampai di sebuah tempat yang sangat
familiar bagiku. Pantai Marina! Ya, ini tempat favoritku. Saat aku
sedih, bahagia, atau sedang ingin menyendiri, aku pasti ke sini.
Memandang debur ombak di laut seakan bisa meluluh-lantahkan semua penat
di kepalaku.
Dia menggandeng tanganku. Hatiku berbisik kecil, ini bukan mimpi Rin.
“Saya akan membawamu ke suatu tempat,”
“Kemana?”
Dia tersenyum. Sungguh senyumnya membuatku mataku tak mau lepas memandang wajahnya yang menyejukkan.
Dia mengajakku duduk di atas pasir putih. Dari sini bulan terlihat
begitu jelas. Malam ini purnama. Bulan bersinar penuh, bulat 360
derajat. Cantik sekali.
“Indahnya,” gumamku.
“Bagaimana kamu suka?”
Aku mengangguk. Dan untuk pertama kalinya setelah 3 bulan dari malam
pertama kami, dia memandangku dengan tatapan lembutnya. Mata kita beradu
dan wajah tampan itu perlahan mendekat kepadaku.
“Terima kasih ya,” dia berbisik kepadaku.
“Untuk apa?”
“Untuk semua ini, selama ini kamu begitu baik kepada saya,”
Aku terdiam. Apa maksudnya?
“Saya selalu berfikir, apakah ada yang salah dengan pernikahan kita?” tanyaku. Dia memandangku.
“Tidak,”
“Saya pikir perjodohan itu yang membuat kita menderita. Dan saya
tidak pernah tahu perasaan kamu kepada saya. Kita berdua adalah korban
dari sikap konvensional orang tua kita masing-masing,”
Dia masih saja terdiam. Tatapan matanya nanar memandang rembulan yang bersinar dengan indahnya.
“Saya bahkan baru melihat kamu saat malam dimana kamu dan keluargamu melamar saya,”
“Malam itu saya tidak bisa membohongi perasaan saya sendiri, malam
itu diam-diam saya mulai mencintai kamu, saya pikir pernikahan kita akan
bahagia,”
“Maafkan saya,”
“Tidak, kamu tidak perlu meminta maaf,” kataku cepat.
Kami terdiam untuk beberapa saat.
“Apakah saya berperilaku seperti yang kamu harapkan?” tanyanya.
Aku menggeleng.
“Lantas, kenapa kamu tidak meninggalkan saya?”
Pertanyaannya membuat lidahku kelu. Aku juga tak tahu kenapa aku tak bisa meninggalkannya.
“Mungkin karena saya terlanjur mencintaimu,”
Dia menatapku.
“Begitu pula dengan saya.,”
“Mungkin saya bukanlah pria yang romantis yang setiap hari
memberimu ucapan cinta atau setangkai mawar merah yang indah. tapi,
jujur saya benar-benar mencintai kamu dengan tulus. Kamu, wanita pertama
yang saya cium ketika saya selesai mengucap ijab qabul. Kamu wanita
pertama yang saya lihat saat saya terjaga di pagi hari setelah malam
pertama kita. kamu wanita pertama yang saya kecup setiap saya selesai
bermunajah di tengah malam. Dan kamu yang nantinya akan menjadi ibu
untuk anak-anak saya, sungguh saya mencintai kamu”
Seketika itu aku menangis mendengar jawabannya. Kupeluk tubuhnya yang kekar. Pria berkaca mata itu balas memelukku.
“saya sayang kamu Rin,”
Pelukan itu tiba-tiba mengendur. Sekarang dia merengkuh tubuhku dalam dekapannya.
“Oh iya sekarang hari valentine ya? Saya punya ini untukmu,”
Dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
“Semoga kamu suka,”
Sudah. Aku tak bisa berkata-kata lagi. malam ini terlalu romantis
untukku. Bahkan hampir sepuluh kali kucubit lenganku untuk meyakinkan
diriku jika aku tidak bermimpi. Dia melingkarkan sebuah kalung perak di
leherku. Lantas, dia mengecup pipiku.
“Kamu cantik,” ucapnya.
“Terima kasih..saya hanya tak menyangka kamu bisa seromantis ini, apa karena ini hari Valentine jadi kamu berubah romantis?”
Dia tertawa menampilkan deretan giginya yang putih bersih.
“Tentu saja tidak. Kamu kira saya terkena virus merah jambu itu?
Arina, saya bukan lagi remaja enam belas tahun yang begitu mendewakan
hari Valentine. Saya bahkan tak pernah percaya dengan hari itu. Mungkin
kebetulan saja, weekend ini jatuh di tanggal 14 Februari. Bertepatan
pula dengan bulan purnama yang indah. Karena bagi saya, valentine itu
setiap hari. Ya, setiap ada kamu di hati saya,”
Perfect! Kamu sudah men-skak-mat kan hatiku. Ucapanmu itu seperti
bukan datang dari kamu. Atau mungkin selama ini aku salah mengenalmu?
Aku selalu mengira kamu itu pria berhati dingin tanpa ada sisi
romantisnya sedikitpun.
Mungkin benar kata Nesta. Kerenggangan itu terjadi karena waktu kita
yang selalu salah. Semenjak menikah kita selalu sibuk dengan pekerjaan
masing-masing. Tak ada waktu untuk saling berbagi dan bertukar cerita.
Mana mungkin aku bisa mengenal suamiku seutuhnya jika tidak ada obrolan
intim diantara kita berdua. Pernikahan kita dijodohkan. Ibu dan ayahku
hanya memberiku kesempatan berfikir semalam saja untuk menerima atau
tidak lamaran dia. Kadang, aku selalu menyalahkan waktu. Menyalahkan
pernikahan itu, perjodohan itu dan tentu saja menyalahkan dia.
“Saya bahagia menikah denganmu,” kupeluk tubuh dia, suami tercintaku.
Kembali bisa kurasakan wangi tubuhnya dan dekapannya yang hangat.
“Terima kasih untuk quality time-nya, kamu membuat saya jatuh cinta lagi,”
Dia mengecup keningku pelan.
“Mau saya nyanyikan sesuatu?”
Aku mengangguk. Dan dia kembali menyanyikan lagu favoritnya, Fly Me
to The Moon-nya Frank Sinatra. Lagu yang pertama kali ia dendangkan saat
malam pertama kita. dan itu terjadi tiga bulan yang lalu.
Fly me to the moon,
Let me play among the stars.
Let me see what spring is like on Jupiter and Mars.
In other words, hold my hand!
In other words, baby, kiss me.
Fill my heart with song,
And let me sing forever more…
Diam-diam aku mengikrarkan lagu ini sebagai lagu favoritku juga.
Terima kasih Hari, terima kasih untuk quality time yang kamu berikan.
Sekarang aku bisa merasakan sesuatu yang indah bernama ‘cinta’ yang
diam-diam kembali membisikan kamu dihatiku.
End-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar